DALAM rentang panjang sejarah dinamika politik nasional, identitas agama dalam hal ini `Islam’ dipercaya sebagai faktor penting dalam studi perilaku memilih di Indonesia, yang potensial untuk dieksploitasi dalam membentuk pilihan politik warga. Keyakinan ini memiliki akar kesarjanaan sangat panjang. Pada awal fase pembentukan bangsa, pembelahan politik (cleavage) bernuansa agama, Islam vis a vis sekularisme, Islam versus nasionalisme, hingga visi Islam integral dalam negara adalah tema-tema besarnya.
Pembelahan politik terjadi ketika agama disandingkan dengan keragaman lain (sekularisme, nasionalime). Bermula pada Sarekat Islam (SI) pimpinan HOS Tjokroaminoto, yang merupakan transformasi dari Sarekat Dagang Islam, tonggak awal ketika isu agama bisa dimobilisasi sebagai gerakan politik yang kuat, di satu sisi SI berhadapan dengan Boedi Oetomo dan Indische Partij, kelompok politik yang bernuansa sekuler.
Dalam kasus lain pembelahan politik yang bersumber dari cleavage keagamaan terjadi pada munculnya Masyumi dan PNI sebagai representasi keragaman keagaman. Namun, sejarah menggambarkan kelompok yang mengeksploitasi agama sebagai kekuatan politik tak urung terjadi perpecahan di dalamnya karena perbedaan orientasi nilai keagamaan (fundamental-moderat-liberal), yang kemudian dikonsepkan sebagai politik aliran.
Politik aliran merujuk pada teoritisasi Clifford Geertz (1960) yang membagi tiga tipe aliran dalam orientasi keagamaan: santri, abangan, dan priayi. Warga yang berorientasi santri atau kelompok muslim yang taat dikaitkan dengan pilihan partai berasas Islam seperti Masyumi dan NU.
Adapun abangan kelompok muslim kurang taat dikaitkan dengan PKI dan priayi berafiliasi dengan PNI. Teori tersebut belakangan dikritik oleh Parsudi Suparlan, bahwa ketiga tipe itu tidak identik dengan keragaman keagamaan, khususnya kelompok priayi yang lebih menggambarkan pada kelas atau status sosial. Maka, santri hanya bisa disandingkan dengan abangan, begitu juga segmen pemilih priayi lebih mudah diklasifikasikan dalam kelompok abangan. Meski demikian, dalam riset R William Liddle dkk (2012) kelompok santri memiliki persentase pemilih terbesar.
Politik aliran di Indonesia dapat dipahami lewat pendekatan tren elektoral (pemilih). Membaca hasil Pemilihan umum (Pemilu) 1955, gabungan partai politik (parpol) Islam berbasis santri mampu menunjukkan dominasi dengan merogoh 43,7% suara, sedangkan total partai nasionalis 51,7%. Perolehan tersebut membuktikan isu keagamaan mampu menjadi produk jualan yang cukup diminati rakyat dalam marketing politik parpol Islam.
Kini relevankah?
Sebelumnya penting untuk meredefinisi arti parpol Islam yang sebelumnya hanya dipersepsikan sebatas parpol yang berasaskan Islam dengan sistem rekrutmen kader yang seagama (PPP, PK, PBB, PKNU). Namun, persepsi itu perlu dikembangkan hingga pada parpol yang memiliki basis masa Islam. Seperti PKB yang menggarap segmen pemilih NU dari kalangan Islam tradisional di Jawa Timur dan sebagian di Jawa tengah. Meskipun begitu, PKB tetap lentur menggarap segmen pemilih non-Islam dengan agenda-agenda pluralismenya. Kemudian PAN meski tidak berasaskan Islam, selalu diidentikan dengan Muhammadiyah.
Tidak homogennya perilaku pemilih (voters behavior) dalam masyarakat Islam turut disumbang oleh gagasan Nurcholish Madjid (Cak Nur) dengan slogan ‘Islam Yes, Partai Islam No’, yang dipercaya punya efek psikopolitik terhadap umat Islam, bahwa berpartisipasi dengan partai non-Islam bukan sebuah dosa. Oleh karena itu, pemilih tidak lagi melihat jargon atau simbol-simbol agama, tetapi nilai dan substansi yang diperjuangkan.
Tren elektoral suara parpol Islam pasca-Pemilu 1955 memang cukup dinamis, dengan sedikit pasang, kemudian surut terendah. Tulisan ini sengaja menyampingkan hasilhasil pemilu rezim Orde Baru yang dinilai banyak pengamat tidak berjalan demokratis. Pada Pemilu 1999, pemilu pertama semenjak tumbangnya rezim otoritarian Orde Baru, gabungan suara parpol Islam (PKB, PPP, PAN, PK, PKNU) jatuh menjadi 36,8%. Kemudian pada pemilu selanjutnya, 2004, mengalami sedikit eskalasi suara menjadi 38,1%. Di Pemilu 2009, parpol Islam kembali tersungkur dengan hanya mampu meraup 24,15%.
Untuk membaca konstelasi pada Pemilu April 2014 nanti, riset Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menempatkan gabungan parpol Islam hanya mempunyai elektabilitas (tingkat keterpilihan) sebesar 13,5% atau titik terendah semenjak Pemilu 1955. Namun, mempertimbangkan persentase pemilih mengambang (swing voters) cukup besar yaitu 30,10%, itu tidak menutup kemungkinan bisa mendongkrak suara parpol Islam. Syaratnya, meningkatkan ritme politik lebih kencang daripada ritme politik parpol sekuler.
Merosotnya suara parpol Islam diduga karena kegamangan dalam menentukan arah politik, apakah mempertahankan representasi sosiologis dengan terus mengeksploitasi isu-isu keagamaan atau harus tampil terbuka dengan mengadopsi logika kompetisi (political centrism) yang peka pada isu-isu dan kebutuhan rakyat yang selalu berubah.
Maka, kebutuhan parpol Islam untuk mengubah tren elektoral yang terus merosot ini memang tidak mudah. Minimal, selain penguatan dalam mempertahankan basis masa tradisional yang ortodoks yang merupakan tulang punggung partai selama ini. Parpol Islam dituntut untuk berkembang dalam jualan politiknya, mengubah citra dari partai konservatif ke arah tengah yang lebih moderat, tampil terbuka menjembatani banyak golongan dan elemen masyarakat, dan merebut segmen pemilih pemula. Selain itu, memproduksi isu-isu dan keberpihakan parpol dalam sektor yang lebih riil seperti isu ekonomi, isu kepastian hukum, pelayanan publik, bahkan isu internasional. Dengan demikian publik mengetahui bahwa mereka tidak semata dimanfaatkan dengan sebuah kata ‘parpol Islam’.
oleh Ikrama Masloman
Dipublikasi oleh Media Indonesia